Tuesday, August 23, 2016

Menunggu Sang Merah Putih

Setiap Sabtu saya melihat pengibaran Bendera Merah Putih. Adik-adik saya, para Pramuka Penggalang menyiapkan tiang bendera dengan menyambungkan dua tongkat dan menguntai tali untuk mengerek bendera. Mereka bisa jadi sudah bosan dengan upacara bendera. Setiap Senin di sekolah mereka upacara. Dan saat latihan Pramuka hari Sabtu mereka pun upacara. Karena sudah jadi rutinitas, hilang khidmatnya.

Karena sudah jadi rutinitas, hal menarik kerap terjadi. Seperti melihat beberapa kali adik-adik saya lalai dalam pengibaran maupun penurunan bendera. Posisi bendera terbelit, terbalik, kemudian talinya nyangkut tidak mau naik, sampai tiangnya jatuh karena tidak kuat tali tongkatnya. Saya yakin mereka tidak pernah berniat melakukan itu. Tidak ada kesengajaan. Roman para petugas upacara langsung cemas setiap kali kesalahan terjadi. Itulah yang kerap terjadi. Pastilah ada sisi takut karena telah melakukan kelalaian, namun di lubuk hatinya mereka tahu bendera adalah lambang kedaulatan yang harus selalu di jaga.

Mengapa ini penting? Bendera hanyalah secarik kain yang berkibar. Mengapa harus kita jaga? Mengapa harus dihormati sedemikian rupa hingga muncul banyak aturan, hingga harus upacara setiap minggunya?

Kadang memang sangat kacau jadinya ketika nasionalisme diukur dari seberapa sering Bendera Merah Putih dikibarkan. Sampai ada lomba tata upacara bendera antar sekolahan, demi untuk meningkatkan yang katanya nasionalisme. Padahal saya yakin upacara tanpa makna, tanpa rasa, akan sia-sia. Hanya jadi simbol belaka.

Pada dasarnya nasionalisme adalah fitrahnya manusia. Orang-orang akan selalu ingat tanah kelahirannya. Merindukan untuk pulang. Merasa syukur dapat bertumbuh di sebuah bangsa.

Rasa itulah yang kini tengah dibangun di tempat saya belajar, Rumah Belajar Semi Palar. Mencoba menghilangkan rutinitas agar suasana khidmat saat upacara dapat terwujud. Menggetarkan hati ketika melihat Bendera Merah Putih dikibarkan. Merinding, saat memberikan hormat dan mendengarkan Indonesia Raya dikumandangkan. Tidak mudah memang, tapi upacara tanggal 17 Agustus kemarin membuktikannya.

Saya pribadi selalu takjub melihat Sang Merah Putih, menunggu pengibar membentangkan kain dan kemudian berkata, "Bendera siap!"

Menunggu

Sang Merah Putih sampai di ujung tiang.

Tunggu

Sesungguhnya bukan saya yang menunggu. Sang Merah Putih lah yang menunggu. Menunggu kita untuk bangun.

"Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku"

1 comment:

  1. Heuheu.. tulisannya membawaku ke rasa "menunggu" itu #jleb
    Alus euy!

    ReplyDelete